Thursday, October 9, 2025

Sekolah Rakyat: Antara Niat Mulia Memutus Kemiskinan dan Jerat Kritik Diskriminasi Sosial


gambar : www.indonesia.go.id

Program Sekolah Rakyat (SR), yang diluncurkan sebagai salah satu inisiatif ambisius di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, didasarkan pada gagasan mulia, yakni untuk memberikan pendidikan terbaik dan gratis dalam konsep boarding school bagi anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem. Tujuan utama program ini adalah memutus mata rantai kemiskinan antar generasi. Program yang diklaim sebagai wujud nyata negara dalam memberikan akses pendidikan berkualitas ini dimulai sejak Juli 2025, dengan 63 lokasi mulai beroperasi dari total 100 titik yang direncanakan beroperasi tahun ini. Meskipun telah dialokasikan anggaran besar—seperti Rp2,14 triliun sepanjang tahun 2025—implementasi SR menuai kritik tajam dan perdebatan, terutama mengenai tata kelola dan dampaknya terhadap sistem pendidikan nasional.

Kritik mendasar muncul dari aspek ideologis dan kelembagaan. Para pakar pendidikan khawatir program ini akan menciptakan segregasi sosial dan diskriminasi akut. Penempatan anak-anak miskin dalam satu sekolah terpisah, apalagi menggunakan nama yang mengingatkan pada era kolonial (Volkschool), berisiko menimbulkan stigmatisasi negatif ("Sekolah Rakyat, kan, untuk anak miskin") dan memperlebar jurang mutu pendidikan. Lebih lanjut, Koordinator Nasional JPPI dan sosiolog mengkritik keras keputusan menempatkan pengelolaan SR di bawah Kementerian Sosial (Kemensos), padahal Tupoksi pendidikan formal ada di Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah atau Kementerian Agama. Pendekatan ini dinilai berbahaya karena mengirimkan pesan bahwa pendidikan bagi anak miskin adalah urusan bantuan sosial (bansos) dan belas kasihan, alih-alih hak warga negara, sehingga berisiko melahirkan "ketergantungan" bukan "keberdayaan".

Dari sisi urgensi dan efisiensi anggaran, banyak pihak menilai program SR ini "belum terlalu mendesak" dan terkesan sebagai "solusi instan" atau "proyek coba-coba" yang minim kajian. Kritikus seperti KH. Imam Jazuli dan pakar UGM menyarankan agar dana besar (sekitar Rp1,19 triliun hingga Rp2,14 triliun) tersebut dialihkan untuk merevitalisasi sekolah negeri yang sudah ada yang kondisinya memprihatinkan, seperti bangunan rusak, kekurangan fasilitas komputer, dan masalah kesejahteraan guru honorer. Selain itu, tantangan implementasi yang nyata terlihat dari persoalan Sumber Daya Manusia, di mana ratusan guru lulusan PPG yang telah direkrut (sekitar 143 hingga 160 orang) dilaporkan mengundurkan diri karena penempatan tugas yang sangat jauh dari domisili asal, menunjukkan adanya "kegagalan tata kelola" dalam proses perekrutan.

Meskipun SR bertujuan mulia untuk mencetak agen perubahan dan menyiapkan generasi emas 2045, program ini menyimpan keraguan besar di tengah harapan yang ada. Keberhasilannya bergantung pada komitmen pemerintah untuk mengelola program ini secara transparan dan konsisten, serta memastikan kualitas pengajaran yang setara dengan sekolah unggulan. Komisi X DPR RI dan para aktivis menekankan perlunya pematangan konsep, pengawasan ketat terhadap potensi penyelewengan anggaran, dan yang terpenting, mengubah paradigma agar pendidikan di SR ditarik dari logika penyantunan dan dikembalikan sebagai hak memerdekakan. Hanya dengan mengatasi masalah struktural dan memprioritaskan mutu sekolah yang sudah ada, Sekolah Rakyat dapat menjadi titik balik, bukan sekadar jargon politik, menuju pendidikan yang adil dan berpihak pada seluruh anak bangsa.

Referensi :

  1. "Banyak Kritikan, Komitmen Pemerintah Menjalani Sekolah Rakyat Diuji" (Media Indonesia)
  2. "Gejala Pendidikan di Indonesia: Krisis Murid Baru SD dan Kontroversi Sekolah Rakyat"
  3. "Guru dan Masa Depan Sekolah Rakyat" (Forum Zakat / IDEAS)
  4. "JPPI Kritik Kebijakan Sekolah Rakyat yang Sebabkan Ratusan Guru Mundur" (Tempo.co)
  5. "KH Imam Jazuli Kritik Program Sekolah Rakyat: Lebih Baik Perbaiki yang Sudah Ada" (NU Online Jabar)
  6. "Kemensos: 143 Guru Sekolah Rakyat Tidak Penuhi Panggilan Tugas, Ini yang Dilakukan" (detikEdu)
  7. "Kontroversi Sekolah Rakyat Prabowo : Antara Misi Pemerataan dan Risiko Diskriminasi Baru" (Jurnalkitaplus)
  8. "P2G Beri Empat Catatan Kritis untuk Sekolah Rakyat" (Tempo.co)
  9. "Pakar UGM Kritik Rencana Bangun Sekolah Rakyat: Belum Mendesak" (detikJogja)
  10. "Sekolah Rakyat Antara Harapan Presiden dan Tantangan di Lapangan" (Schoolmedia News)
  11. "Sekolah Rakyat Dimulai, Pro Kontra Dituai" (KBR.ID)
  12. "Sekolah Rakyat Dinilai Berpotensi Memperkuat Diskriminasi dalam Pendidikan" (New Indonesia)
  13. "Sekolah Rakyat Indonesia: Terobosan Pendidikan Gratis atau Kebijakan Kontroversial?" (Universitas Muhammadiyah Jakarta)
  14. "Sekolah Rakyat yang Berdaulat" (Kompas)
  15. "Sekolah Rakyat: Harapan Baru Pendidikan Berkualitas untuk Anak Bangsa" (Media Keuangan)
  16. "Sekolah Rakyat: Solusi atau Masalah Baru Pendidikan Nasional" (kumparan)
  17. "Sekolah Rakyat untuk Pemerataan Pendidikan Berkualitas" (DPR RI)
  18. "Sri Mulyani Gelontorkan Rp 2,14 Triliun untuk Sekolah Rakyat pada 2025" (kumparan)


No comments:

Post a Comment